Dari Perpisahan ke Perpisahan





Besok hari senin, gue harus balik ke kampus buat kuliah. Pesawat yang gue tebengin berangkat hari ini jam 17.00, setidaknya gue masih cukup punya waktu untuk mengucap sepatah-empat patah kata buat ninggalin Gaby. Bukan, bukan buat putus, tapi ya gitu, namanya juga LDR. Waktu lebih banyak dihabiskan dengan perpisahan daripada pertemuan.

Sebagai pasangan baru, baru jadian, tentunya akan dihabiskan dengan kebersamaan, untuk itulah gue kembali ke rumahnya pagi itu.

“Gab, aku udah di depan rumahmu.”

“Aaak, tunggu yaaa..” Suara Gaby dari kening telfon selularnya."

Gaby keluar dari dalam rumah, menyambut gue lengkap dengan baju ketek dan celana gemesnya. Hari itu masih pukul 08.00, ditambah dengan penampilan Gaby yang menyambut gue di depan pagar, membuat pagi itu terasa panas sekali.

Gaby adalah cewek yang menurut gue lumayan cantik. Seperti penampilan cewek gaul kebanyakan, Gaby ini memakai behel, rambutnya belah tengah seperti laut yang dibelah menggunakan tokat nabi Musa, dan yang paling nggak nguatin adalah dua lesung pipit yang menusuk pipinya itu. Pipinya yang lembut nan gembil sudah merah merona tanpa memakai sapuan kosmetik. Di empuk pipinya, hidup tidak mampu menampakan kerasnya..

“Hae cantik..”Sapa gue di depan pagar sambil tersenyum.

“Ummh, siapa ya?”

“Don.” Balas gue sambil menjabat tangannya, melewati jeruji pagarnya.

“Aww, nama aku Gaby, sepertinya kamu tampak familiar.” Gaby menyambut tangan gue dan menggenggamnya.

“Hmm, sepertinya kamu tampak mengenalku. Apa yang kamu rasakan? Apakah seperti menemukan jalan pulang?” Tukas gue sambil tetap menjabat tangannya.

“Ah tidak, saat melihatmu, aku seperti berada di suatu tempat yang tak memiliki jalan pulang.” Jawabnya lagi.

“Ah, baiklah, jatuh cinta memang membuat seseorang tersesat.” 

“Kamu mau masuk apa aku biarin kering di sini, hah?!” Balas Gaby sambil melepas genggaman tangan gue.

Oke, Gaby merusak romansa yang baru saja gue bangun.

“Ma-masuk dong, kalau nanti aku diculik orang, terus kamu merasa kehilangan gimana?” Ucap gue pelan.

Gaby tidak menjawab.

Rumahnya cukup besar, untuk sampai di terasnya saja gue harus naik ojek. Ah, bukan. Dua pilar kayu jati yang menopang atap terasnya menarik sekali. Kursi kayu yang sepertinya juga berasal dari pohon jati, membuat interior teras rumahnya manis. Jika memandang ke luar teras dan mendongak, ada pohon rambutan yang lebat sekali. Nyaris menaungi seluruh teras ini. Suasananya seperti alam liar. Gue nggak heran kalau-kalau ada macan tutul turun dari pohon rambutan dan menerkam tukang tahu gejrot yang lewat di depan pagar. Dan yang paling gue suka, ada semacam ayunan untuk dua orang tepat di bawah pohon itu.

“Rumahmu kok sepi benar, pada ke mana?” Tanya gue sambil melepaskan alas kaki di terasnya.

“Lagi  pada ke gereja.”

“Oh.. Lho, kenapa kamu masih di sini?”

“Kamu kan mau ke sini, aku bisa ke gereja sorenya.”

“Oh..”

“Kenapa emangnya?”

“Eh, ini kok sepi benar, emang cuma kamu yang tersisa di sini?” Tanya gue lagi.

“Iya, cuma aku, papah, mamah, sama saudara kembarku udah berangkat jam 7 tadi.”

“APA?! JADI TINGGAL KITA BERDUA DOANG DI SINI?!”  Mata gue terbelalak, menatapnya tidak percaya.

“Bisa jadi, emang kenapa, romantis kan. Ehehe.” Bales Gaby sambil menembem-nembemkan pipinya.

Tiba-tiba gue jadi ingat adegan Sora Aoi yang lagi di rumah sendirian. Lagi duduk manis selonjoran di sofa sambil nonton tivi, lalu entah harus dengan teori apa menjelaskannya, datanglah seorang lelaki paruh baya menutup matanya dari belakang. Berawal dari adegan tutup-tutup mata pakai tangan, Sora Aoi hanya bisa pasrah ketika dihabisi di sofa itu

“Oh tidak, Gaby dalam bahaya!” Ucap gue dalam hati setelah tersadar dari lamunan film Sora Aoi. Rumahnya kosong dan dia ditinggal bersama macan tutul kelaparan di depan teras. Sebuah keadaan yang tidak baik untuk keselamatan Gaby. Sebentar kemudian gue merapal doa agar tidak lepas kendali.

“Mau minum apa, sayangg?” Tanya Gaby sambil mencondongkan badannya.

“Ah, ndak perlu repot-repot gitu sa-sayanggg.” Gue menatapnya canggung.

“Ishh, gapapa loh, anggap aja rumah sendiri.”

“Duh, terserah kamu aja deh cantik.”

“Maunya apa? Sirup, teh, atau?”

“Terserah kamu aja deh, yangggg.” Jawab gue lagi.

“Yaudah, air es aja ya?”

“Yahh, jangan.. buatin aku es teh aja, tapi dikasih lemon ya. Eh tapi inget, lemonnya harus lemon buah. Bukan mama lemon, bukan juga Abdel dan lemon. Oh, iya biji lemonnya jangan sampai jatuh di tehnya. Oh iya, gulanya jangan banyak-banyak, tapi jangan kesedikitan juga. Ya, pokoknya yang kayak temenku sering buatin deh.. Kamu pasti ngerti.”

Gaby mengheningkan cipta.

“Nggg, yaudah, kamu masuk aja ke dalem sih, selonjoran di sofa aja sambil nonton tivi.” Jawab Gaby sesaat setelah mengheningkan ciptanya kelar.

“APAAH?! SELONJORAN DI SOFA SAMBIL NONTON TIVI?!!” Gue tersungkur ke lantai dan berfantasi yang tidak-tidak.

“Kenapa emangnya, Downihh?”

“Oh, Ngg-nggak kok, gapapa.”

Suasana mulai mencekam.


=====

“Donn, kamu di mana?!” Teriak Gaby dari ruang tengah. “Ya ampun, kamu ngapain di situu?”

“Mmhh, eh apa?” 

“Kamu ngapain tidur di ayunan, haduh.” Gaby menghampiri gue dengan membawa dua gelas es lemon tea dan setoples biskuit sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oh sorry-sorry, aku memang lemah sama ayunan. Apalagi ini sepoy-sepoy anginnya. Hehe.”

“Beneran nggak mau di dalem aja?”

“Di sini aja sih, di sini lebih goyang-goyang.” Jawab gue sekenanya.

Akhirnya, kami bersenda gurau di ayunan, menatap nanar langit pagi itu – sepasang kekasih kemarin sore yang baru saja memutuskan untuk mencoba bersama. Sebentar kemudian tawa canda pecah di bawah gugur daun rambutan.

“Gab, katanya kamu punya saudara kembar? Kok aku bisa nggak tau?” Tanya gue sambil minum es lemon tea, sambil goyang-goyang dikit di ayunan.

“Hehe, dulu aku kan udah pernah bilang, tapi kamu kira aku cuma becanda.”

“Hah, mana cobak, liat fotonya. Cepat serahkan fotonya, Gab. Cepat!” Pinta gue dengan tidak santai.

Gaby mengeluarkan henfon dari saku celana gemesnya, membuka folder foto, dan memperlihatkannya ke gue. “Lah, kamu yang mana?!! INI MAH FOTO KAMU SEMUA. AAAKKK..”  Gue menatap layar henfon sambil geleng-geleng.

“Duh Downy, aku yang sebelah kanan loh..”

“HAH, MANA?!! INI FOTO KAMU SEMUA!! INI PASTI PHOTOSHOP!! PASTI.” Gelas es lemon tea gue terjatuh, dan macan tutul di atas pohon rambutan menatap tidak percaya.

“Hehe, mirip kan ya, uwuwuw, namanya Gandhira.” Jawab Gaby.

“Ya ampun, ini mah bukan mirip lagi, Tuhan menciptakanmu lebih dari satu!” Sergah gue yang cuma dibalas Gaby dengan senyum sambil goyang-goyang dikit di ayunan. 

“Ummh, tapi lebih seksi Gandhi ya ketimbang kamu.” Gue kembali melanjutkan.

Beberapa detik kemudian gue diusir dari rumahnya.


=====

Waktu menunjukkan hampir pukul satu. Buat orang yang sedang kangen, ngobrol lima jam benar-benar nggak terasa. Ya begitulah, di depan rindu, waktu tak pernah sempat mencukupkan pertemuan. Henfon gue geter, bokap udah SMS nyuruh gue segera pulang, takut gue ketinggalan pesawat. Sambil melihat jam di tangan kiri, perlahan gue bangun dari dudukan ayunan.

“Gandhi, aku pulang dulu ya.”

“GABY!!!”

“Iya-iya sorry, ketuker dikit gapapa sih.. Gaby aku pulang dulu ya.

“Kok cepet banget, kamu kan baru aja ke sini, Downii.”

“Kan aku udah dari pagi di sini, sayangg.” Jawab gue lagi..

“Tapi kan..” Gaby menembem-nembemkan pipinya.

“Iya, kan nanti aku ke sini lagi, buat kamu.”

“Tapi, kapan?”

“Ya kalau liburan lagi, aku pasti ke sini.”

“Lho ini nggak libur, kamu bisa ke sini kok.” Gaby menatap gue curiga.

Gue membelai rambutnya, berusaha menyingkap rahasia rambut belah tengahnya, “Nggg, ini kan aku bolos kuliah buat kamu, sayangg.” “Aku pulang dulu ya.” Lanjut gue lagi.

Gaby cuma mengangguk. Berat hati rasanya ninggalin dia dan celana gemesnya, tapi apa mau dikata, gue harus pulang kalau nggak mau ketinggalan pesawat. Perlahan gue ngeluarin motor dari garasi rumahnya, kemudian membuka pagar rumahnya.

“Don..” Gaby memanggil dan gue balas dengan  menengoknya ke belakang.”

“Ini..” Lanjut Gaby sambil mengacungkan kelingkingnya.

Gue balas dengan mengacungkan telunjuk, “Yes, aku menang!” Teriak gue dengan bangga.

“YANG NGAJAK MAIN SUIT SIAPAAAA??!!”

“Hah, terus gimana?” Gue mengeryitkan dahi.

“Kelingkingmu mana, aku mau kamu janji supaya kita saling setia.”

Gue panik, gimana ini.. kelingking gue yang mana cobak, jari gue mirip jempol semua. Duh, mampus gue. “I-ini, kelingkingku mau diapain ya?” Tanya gue lagi sambil mengacungkan kelingking ke depannya. 

“ITU JEMPOL, SETAN.”

Gue makin panik. Akhirnya, gue kasih liat semua jari gue ke dia. “DUHH REPOT YA, YAUDAH KAMU PILIH SENDIRI DEH!!”

Gaby mengaitkan kelingkingnya ke kelingking gue. “Janji ya, kita akan saling setia.” Tukas Gaby, pelan.

Gue mengangguk tremor-tremor gimana gitu. Cewek yang lagi serius, dilihat dari angle manapun, sepertinya menjadi lebih cantik dari biasanya. Kalau di FTV, saat-saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk memberikan peluk dan cium. Gue mencoba untuk melangkah lebih dekat padanya. Melangkah lebih dekat lagi, lebih dekat lagi, sampai pada akhirnya jarak gue dengan Gaby hanya sedekat jantung dengan detaknya.

Gue meletakkan kedua tangan di pundaknya.

“Gaby..”

“Ya?”

“Jadi gini..”

“Tunggu, kamu mau cium aku ya?” Gaby memotong.

Gue mundur perlahan, gue menatap tidak percaya, kenapa hal ini terjadi ke gue? Salah apalagi hambamu ini ya, Tuhan? “TIDAAAAAKKKKKK...” Teriak gue sambil berlutut di depannya.

“Yang jadi masalahnya sekarang, mobil papaku ada di belakangmu. Motormu ngalingin pagar tuu.” Gaby melanjutkan.

Gue nengok ke belakang dengan cepat, ke arah pagar. Mobil CRV hitam sudah tepat berada di depan pagar, dan motor kopling gue yang knalpotnya nyomot dari mesin fogging,  pas banget ngalingin pagar. Perlahan gue pun keluarin motor ke luar. Begitu melewati kaca jendela mobilnya yang sudah terbuka setengah, terpampang jelas wajah bapaknya.

“Permisii, om.” Sapa gue.

“Oh iya, silakan-silakan.” Balas bapaknya, dengan sedikit menaikkan alis.

Mobil itu pun masuk ke garasi, gue pun sudah berada di luar pagar. Bokap, nyokap, dan seseorang cewek yang sepertinya Gandhi, turun dari mobil itu.

“Don, tunggu!!” Teriak Gaby. “Sini dulu, kenalan sama papaku dulu.” Gaby melanjutkan lagi.

Gue pun kembali masuk ke garasinya, dengan sedikit menunduk gue mencoba memperkenalkan diri.

“Permisi om, tante, nama saya Don.” Gue memperkenalkan diri sambil salim ke bokap dan nyokapnya Gaby.

“Oh iya, iya, kok sudah mau pulang? Makan dulu ini, saya bawa bakmie GM.” Balas bokapnya Gaby, ramah.

“Oh, terimakasih om, saya sudah mau pulang..” Gue menjawab canggung.

“Lho, nggak sekalian ke gereja dulu bareng Gaby nanti siang, mas?” Nyokap Gaby juga ikut menimpali.

“Lho iya, Mas, masih sempat ibadah siang loh ini. Nggak sekalian bareng Gaby aja?” Bokapnya Gaby ikut memperkeruh keadaan.

Gue diam membisu.

Hening.

“Nggg.. mih.. pih.. dia udah mau pulang. Pesawatnya berangkat siang ini, jadi harus buru-buru.” Gaby memotong keheningan saat itu. Gaby pun menggandeng gue keluar dari garasi, menyelamatkan gue dari pertanyaan bokap nyokapnya yang rasanya sangat sulit untuk dijawab.

Sesampainya di luar, “Gab, tadi aku harus jawab apa cobak? Itu awkward moment banget.” 

“Ya makanya, udah diem aja.” Balas Gaby cepat.

“Emang kamu nggak cerita ke ortumu kalau kita ini beda aga..”

“Oh, jadi ini cowok yang sering kamu ceritain, yang dari Facebook itu kan?!” Gandhi yang menghampiri kami ke depan pagar, memotong.

Gaby pun senyum-senyum ke arah Gandhi dengan tatapan “gimana, cakep kan cowok ogut, nyet?”, kemudian Gandhi pun membalas senyuman Gaby dengan tatapan “anjir, iye cakep nyet, gue pinjem bentar icaaa kaleee.”. Nggak mau kalah, gue pun membalas senyuman-senyuman mereka dengan tatapan “udeh-udeh, jangan berebutan gitu ah, main langsung bertiga juga icaaaa.”

Krik.


=====


====
Mungkin benar, kita dihadapkan pada perpisahan, agar menyadari bahwa kita tak selamanya dapat dipertemukan. Ya, sebuah cara sederhana untuk menghargai pertemuan. Hubungan jarak jauh gue yang dibangun dari perpisahan ke perpisahan, siang itu memasuki perpisahan kedua dengannya. Gue pun ngeloyor pergi dari depan rumahnya, menghilang perlahan di ujung jalan.



Perjalanan beda keyakinan ini nampaknya akan dihadang banyak rintangan..

Share:

4 Komentar